categori

Senin, 04 April 2011

JURNAL ASPEK HUKUM DALAM PEREKONOIAN

ABSTRAK
Negeri-negeri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat ; unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesaman nasional, Tingkat kedua, perjuangan untuk ekonomi dan modernisasi politik. melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu yang relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi. Indusirialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan. Kesatuan nasional Amerika dicapai dengan lahirnya Konstitusi Amerika. Namun mungkin sebagian besar orang masih menolak konstitusi pada tahun 1789, berkenaan dengan “state rights”1 Amerika Serikat baru benar-benar memasuki tahap industrialisasi setelah berakhirnya Perang Saudara pada tahun 1840an. Periode ini ditandai dengan berkembangnya produk logam, peningkatan modal dan terjadinya urbanisasi. Di bidang hukum, berkembangnya peraturan-peraturan bisnis yang mendorong terjadinya akumulasi modal dan terbentuknya elite manajer.2 Akhimya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.

*) Wallace Mendelson, “Law and the Development of Nations,” The Journal of Politics vol. 32 (1970)h.224
Lawrence M. Friedman, A History of American Law, (New York: Simon and Schuster, 1973) h. 384-404.

Inggris menjalani tahap pertama pada pertengahan abad ke 12. Raja Henry II ( 1154-1189) melakukan pembaruan pajak, menetapkan hukum nasional menggantikan hokum feodal.3 Perkembangan teknologi yang lambat mungkin menunda industrialisasi inggris sampai abad 18. Baru pada tahun 1900 an Inggris masuk pada era kesejahteraan dengan lahirnya undang-undang yang melindungi buruh dalam kecelakaan kerja dan penetapan upah minimum.4 Dibawah Tokugawa, Jepang memasuki tahap unifikasi,antara lain, dengan berkembangnya peranan hakim dalam mencipta hukum yang secara nasional mendorong integrasi sosial.5 Hal itu adalah permulaan dari jalurnya kesatuan Jepang. Dengan Restorasi Meiji 1868, Jepang mulai berhubungan dengan Barat. Berlainan dengan Inggris yang menunggu berkembangnya teknologi. Meiji mengirimkan sumber daya manusianya ke Inggris untuk belajar Angkatan Laut dan perdagangan maritim, ke Jerman untuk Angkatan Darat dan kedokteran, ke Perancis belajar hukum dan ke Amerika untuk masalah bisnis. Kebijaksanaan tersebut menghasilkan modernisasi Jepang yang cepat. Pada tahun1895 Jepang menjadi negara modern, sentralisasi birokrasi pemerintahan, memiliki sistim pendidikan nasional menganut sistim hukum modern walaupun hukum Perdata. Pidana dan Dagang di import dari Eropah.6 Hukum memberikan keleluasaan berkembangnya bisnis tetapi tak ada suara mengenai nasib buruh, konsumen dan petani tak bertanah (landlessness).7 Pada waktu Perang Dunia 1, Jepang menjadi industri klas satu dan militerisme membawa Jepang kepadakekalahannya pada Perang Dunia II. Baru setelah Perang Dunia berakhir, Jepang masuk pada tahap negara kesejahteraan.8 Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan bahwa legislator, hakim dan institusi hokum menjalankan peranan penting dalam mengubah norma dan nilai-nilai untuk menetapkan prioritas-prioritas sosial baru dari tingkat pembangunan yang satu ke tingkat pembangunan berikutnya. Pemikiran yang konvensional mengatakan bahwa persatuan nasional, terciptanya stabilitas disertai dinamika masyarakat dan pasar, adalah prasyarat untuk membangun

*) 3.Harorld J. Berman, “Law and Revolution: The Formation of the Western Legal Tradition,” (Cambridge :Harvard University Press, 1983) h. 451-453.
4.Lihat juga antara lain Daniel Chirot, Social Change in the Modern Era. (San Diego - New York: Harcourt
Brace Jovanovich. Inc) 1986. h. 64-65.
5.Dan Fenno Henderson, Conciliation and Japanes Law: Tokugawa and Modern (Tokyo: University of
Tokyo Press - Seattle: UNiversity of Washington Press. 1965) h. 47-62.
6.Wallace Mendelson Press. op.cit. h. 233.
7.Mengenai petani marginal dan petani tak bertanah lihat antara lain Harorld E. Voekner. Land Reform in
Japan. (Washington : Agency for international Development, June 1970). h. 53.
8.Frank K. Upham. Law and Social Chance in Postwar Japan (Cambridge : Harvard University Press.
1987) h. 124-127.



prasarana industri, dan pertumbuhan industri adalah prasyarat untuk berhasilnya usaha
mengatasi kemiskinan, kebodohan dan berbagai macam penyakit. 9 Negara-negara berkembang telah menolak asumsi tersebut. Industrialisasi tanpa memikiran kesejahteraan sosial, semata-mata akan menunda kemarahan generasi baru yang dapat mengancam kesatuan bangsa. Kenaikan GNP tidak dengan sendirinya menghasilkan kesatuan sosial, stabilitas dan kebahagian. Masyarakat negara-negara berkernbang sadar benar bahwa tiga tingkatan pembangunan diatas harus dicapai secara serentak (councurent).10 Hal ini juga disebabkan perkembangan yang amat cepat dibidang komunikasi dan teknologi, sehingga bangsa-bangsa dapat saling berhubungan dan dan saling melihat dalam hitungan detik. Khususnya kita di Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan  pendapatan itu dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan.11 Bila kita ingin tiga tingakat pembangunan itu dijalaninsecara serentak,budaya hukum Indonesia harus dapat mengakomodasi tujuan-tujuan yang demikian itu. Kita hukum dan profesi hukum, yang mampu menjaga integrasi dan persatuan nasional. Dapat mendorong pertumbuhan perdagangan dan industri, serta berfungsi memajukan keadilan sosial, kesejahteraan manusia. pembagian yang adil atas hak dan keistimewaan, tugas dan beban. Persatuan nasional, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial mesti dapat tercermin dalam setiap pengambilan keputusan, Dalam mencapai tujuan tersebut. Kita memerlukan pembaruan hukum. institusi hukum dan profesi hukum, Pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak azasi manusia, keduanya tidak dalam posisi yang berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi bertambah penting karena bangsa kita berada dalam era globalisasi, artinya harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Hak-hak Azasi Manusia dan Pembangunan Kait Mengkait Konsep Barat mengenai Hak- hak Azasi Manusia terbatas pada hak-hak sipil dan politik. Namun U.N. Covenant 1966 menambahkan Hak -hak Azasi manusia dengan “economic, social, and cultural rights”.12 harus memiliki hukum, institusi

*) 9.A.F.K Organski, The Stages of Political Development (New York : Knoff. 1965) h. 7-221.
Thomas M Frank, “The New Depelopment : Can Amerika law and Legal Institutions Help Depeloping
Countries” Winconsin Law Review No. 3 (1972), h.772.
11.Lihat antara lain kebijaksanaan Delapan Jalur Pemerataan Dalam GBHN 1993. Bahan penataran P4
GBHN. Jakarta : (BP-7) pusat,199, h. 55-56. Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. (Jakarta : CIDES,1996), h. 139-149. Sayuti Hasibuan, Ekonomi Sumber Daya
Manusia (Jakarta : LP3ES, 1996), h. 82. Umar Juoro,” The Gap Between Rich and Poor in Indonesia is
Widening,” Far Eastern Economic Review,18 October 1990, h.92.
12.International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights Adopted 16 Des 1966.entered into
force 3 Jan 1976, G.A.Res 2200 (XXI) U.N.GAOR, 21st Sess Supp No. 16 U.N.Doc A/6316(1966).

Bila pembangunan diartikan tidak lebih dari pertumbuhan ekonomi dan hak-hak azasi
manusia hanya terbatas pada hak-hak politik. kedua konsep tersebut tidak pernah akan
bertemu bahkan berlawanan. Dalam perkembangannya sekarang ini baik HAM maupun
konsep pembangunan sudah diperluas. Antara Hak-hak Azasi dan pembangunan tidak ada
pertentangan lagi bahkan menjadi terintegrasi secara total.13 Hak-hak Azasi Manusia tidak
saja hak untuk berkumpul, berserikat dan berbicara (civil and political rights} tetapi juga hak-
hak ekonomi, sosial dan kebudayaan.14 Sebaliknya pembangunan tidak saja diartikan
pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan social, politik dan kebudayaan.
Pembangunan kita bertujuan pula membangun manusia Indonesia seutuhnya. Untuk
pembangunan manusia, seseorang memerlukan baik makanan maupun kebebasan
berpendapat ; makanan perlu untuk dapat tetap hidup, kebebasan mengeluarkan pendapat
dibutuhkan agar jiwa dapat tetap berkembang, Keduanya kebutuhan yang mendasar dan
absolute. Dengan menerima bahwa semua hak-hak azasi manusia adalah saling berkaitan dan
tdak dapat dipisahkan, maka penegakan hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan harus dilaksanakan dan didorong dengan intensitas yang sama. Hak-hak sipil dan
politik tidak lebih prioritas dari hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan. Begitu juga
sebaliknya. Kita di Indonesia yang memilikii UUD’45 dan Pancasila,15 yang isi dan jiwanya
menurut hemat saya mencakup hak-hak azasi dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
harus mengusahakan terus tegaknya hak-hak tersebut, bukan karena kita tunduk pada tekanan
luar, tetapi sejak semula hak-hak tersebut sudah menjadi milik kita sebagai bangsa. Kritik-
kritik terhadap pelaksanaannya harus mendorong kita untuk lebili peka, terutama dalam
masalah pertanahan, perburuhan, lingkungan hidup dan perlindungan konsumen16
Perburuhan, pertanahan. lingkungan hidup dan perlindungan konsumen harus mendapat
perhatian yang lebih, satu dan lain hal karena investasi asing telah menjadi bagian
pembangunan ekonomi Indonesia, dan ekonomi Indonesia telah terkait dengan ekonomi
dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi hak-hak
buruh. perlindungan lingkungan hidup. hak-hak atas tanah dan perlindungan konsumen.17

*) 13.John O’Manique,” Human Rights and Development,” Human Rights Quaterly vol 14 (1992), h.78-79.The Vieena Declaration and Programme of Action, adopted June 24, 1993 U.N doc A/Conf. 157/24
(pt.I) h.23 (Oct.13.1993).
15.Lihat Pembukaan dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 (2), Pasal 31, Pasal 34 UUD’45.
16.Lihat antara lain S Pompe,” Human Rights in Indonesia : Between Universal and Nasional. Between
State and Society,”7 LJIL (1994).
17.Lihat antara lain Mario Gomez,” Social Economic Rights and Human Right Commission.”Human Right
Quaterly vol, 17 (1995) h.155, Bandingkan Yemi Osinbajo-Olukonnyisola Ajayi,” Human Rights and
Economic Development in Depeloping Countries,” The International Lawyer vol 28 no. 3 (1994) h.731-732.